Nokas, Mahar, dan Adat

Rifqy Nukman Maajid; Kusuma Pradana Ramadani.

Suasana Diskusi Film "Nokas"

Kamis, 27 Februari 2020, Perkumpulan Peneliti Eutenika mengadakan pemutaran dan bincang film di Dialoogi Space and Coffeee, Soekarno Hatta, Malang.

Kali ini, film yang diputar dan didiskusikan adalah Nokas karya Manuel Alberto Maia (2016). Diskusi dipantik oleh Dhanny Septimawan Sutopo, pengajar di Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya dan dipandu oleh Mely Noviryani, Direktur Tata Kelola Pengetahuan, Perkumpulan Peneliti Eutenika.

Nokas bercerita tentang kehidupan Nokas pemuda berusia 27 tahun yang ingin mempersunting kekasihnya, Ci, yang bekerja di peternakan ayam di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Di NTT, tradisi mahar dalam pernikahan adat membuat pihak lelaki membayar mahar yang cukup mahal kepada orang tua dan saudara pihak perempuan. Nilai mahar tidak menentu dan sering memberatkan pihak laki-laki. Film ini mengikuti pelbagai usaha Nokas dalam menyiasati biaya pernikahannya.

Mely membuka diskusi dengan membahas tradisi mahar dalam pernikahan adat yang berlaku berbeda dan sama di beberapa daerah di Indonesia. Menurut Dhanny, pernikahan bukan urusan seksual belaka. Ada hal yang lebih mendasar lagi, pernikahan merupakan hubungan yang bersifat kontraktual antar individu, antar keluarga, hingga antar suku. Praktik semacam ini akhirnya melahirkan simbol-simbol tertentu dan berbagai macam tata cara ritual adat.

Dhanny menambahkan bahwa baik sistem kekerabatan patrilineal maupun matrilineal turut mendukung logika transaksional dalam mahar yang di Indonesia. Di beberapa suku di Indonesia, kondisi semacam itu berujung pada domestifikasi perempuan.

Penonton yang hadir pun menyampaikan beberapa pandangannya dalam proses diskusi. Beberapa penonton adalah anak NTT yang memosisikan diri sebagai pihak yang terikat oleh budaya turun temurun sehingga mau tidak mau menjadi syarat utama bagi mereka yang hendak melangsungkan pernikahan.

Ada yang beranggapan bahwa tradisi mahar di NTT menjadi salah satu faktor mengapa masyarakat NTT bertahan dalam tingkat kesejahteraan yang rendah. Sementara itu, beberapa penonton juga beranggapan bahwa budaya adalah sesuatu yang harus kita jaga dan pertahankan.

Seorang peserta dari suku Batak juga berbagi pengalamannya dengan menunjukkan beberapa kesamaan antara yang terjadi di NTT dengan yang terjadi di Sumatera Utara.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Eutenika, Anton Novenanto mengutarakan pandangannya bahwa pernikahan adalah sebuah teknologi untuk melanjutkan peradaban manusia. Tradisi pernikahan, apapun itu bentuknya, adalah pembeda antara manusia dengan makhluk hidup lain.

Di akhir diskusi, Dhanny menyatakan bahwa topik terkait pernikahan ini tidak akan habis dibahas karena pernikahan bukan hanya urusan kelamin. (*)